Selama 45 tahun, Fan Wai-yip mulai bekerja pukul 08.00 hampir setiap hari di tempat yang sama — Tai Tam Country Park, yang terletak di sudut timur Pulau Hong Kong.
Di antara pekerjaannya adalah bolak balik melintasi taman seluas 1.315 hektare, yang menjadi cagar alam kota yang terkenal dengan empat reservoir, puncak gunung yang hijau rimbun, perbukitan yang bergulung-gulung naik turun, dan panorama spektakuler yang menutupi seperlima area total pulau ini.
Sebagai seniman taman senior, Fan bertugas melakukan penghijauan dan perlindungan terhadap lanskap taman yang sebelumnya tandus, yang dibiarkan hancur lebur selama pendudukan Jepang di kota ini pada Perang Dunia II. Dia juga membangun dan memelihara jalur pendakian, gubuk, tempat penampungan, bangku, dan area piknik serta barbeku, yang menjadi tempat wisata tenang bagi warga kota dari hiruk pikuk kehidupan kota.
“Orang tua saya adalah nelayan. Saya mulai membantu mereka sejak usia 13 tahun setelah menamatkan kelas 1 SMP,” tutur Fan. “Namun ayah saya yakin bahwa memancing itu berat sehingga menyarankan agar saya mencari pekerjaan yang lebih mapan dengan gaji lebih baik.”
Saat itu, pemerintah sudah mengatur pembagian Departemen yang sekarang dikenal sebagai Pertanian, Perikanan, dan Pelestarian untuk mengembangkan serta mengelola taman nasional sehingga menciptakan lapangan kerja yang diberitahukan teman Fan kepadanya.
Dia bergabung dalam sebuah tim beranggotakan 30 orang untuk mengubah hutan kota yang belum tergarap menjadi jalur pendakian dan taman nasional. “Pekerjaannya berat tapi sebenarnya tidak,” kenang seniman taman 64 tahun ini. “Kami harus mengerjakan semua pekerjaan dari penggalian hingga pembersihan toilet menggunakan perkakas yang terbatas seperti gancu dan sekop.”
Kala itu, belum ada jalan yang dibangun dengan baik di wilayah pedesaan sehingga Fan dan timnya harus perlahan-lahan membabati hutan pada saat membawa perkakas, kayu gergajian, dan batu yang dibutuhkan untuk bangunan. Mereka harus mencari ide-ide kreatif untuk meningkatkan efisiensi, seperti menggunakan pipa air lunak sebagai ransel sementara untuk mengangkut muatan berat.
Salah satu proyek luar ruangan utama Fan adalah penggalian dan pengaspalan jalur pendakian Dragon’s Back. Kini bagian dari Taman Nasional Shek O, rute di atas punggung bukit sepanjang 8,5 km antara Shek O Peninsula hingga Big Wave Bay ini merupakan salah satu wahana pendakian terpopuler di Hong Kong dengan panorama pantai yang spektakuler. Akan tetapi, mula-mula kondisinya “teramat sangat tandus” di mata Fan sehingga timnya harus menanam pepohonan di sepanjang jalur pendakian untuk meremajakan tumbuhan dan mencegah erosi tanah.
Fan mendapatkan pelatihan sebagai seniman taman untuk mengidentifikasi spesies pohon yang cocok untuk proyek ini. Pohon-pohon eksotik seperti Akasia Taiwan, Kotak Brisbane, dan Pinus Slash dipilih karena cepat tumbuh dan tidak mudah mati. “Kami menyebutnya ‘tiga khazanah hutan’,” kata Fan.
Menanam pohon juga menuntut pemeliharaan rutin, dan Fan bangga dengan kemampuannya memotong dahan dan ranting pohon secara tepat. “Anda bisa mendapati dahan yang membawa risiko bagi fasilitas wisata terdekat atau rawan jatuh dan mengancam keselamatan pendaki,” tuturnya. “Saya bisa memperhatikan sebuah pohon dan dengan cepat tahu dahan-dahan mana saja yang perlu dipotong dan harus dipotong secara cepat dan aman dengan tetap menjaga kesehatan pohon.”
Karena sudah banyak melakukan perjalanan melewati Dragon’s Back, Fan juga mulai mengagumi jalur pendakian populer ini. “Pendakian ini tidak menguras tenaga, tetapi panoramanya sangat menakjubkan karena Anda dapat menyaksikan laut di kedua sisi jalur pendakian.” katanya. “Jalur ini terhubung dengan banyak titik permulaan dan akhir pendakian. Silakan pergi ke Cape D’Aguilar untuk menyaksikan formasi batu dan gua menakjubkan atau kunjungi Big Wave Bay untuk wisata pantai. Banyak wisatawan suka mengakhiri pendakian di Shek O untuk menyantap makanan.”
Selain membuat Dragon’s Back aman bagi pendaki, Fan juga menambahkan kenyamanan dan estetika ke jalur pendakian ini lewat kerajinan tangannya. Dia memunguti dahan-dahan jatuh atau potongan dahan lalu memanfaatkannya untuk membuat pagar, kursi, dan ornamen. Namun, upaya mengolah kayu semacam itu tidak sesederhana kelihatannya.
“Pertama, Anda harus menjemur kayu untuk menghilangkan kelembapan,” terangnya. “Barulah Anda bisa membayangkan wujud yang akan dibuat dari batang pohon yang Anda miliki itu, sebelum memotong-motong dan mengecatnya.”
Fan menikmati proses kreatif ini karena tidak hanya menguntungkan lingkungan, tetapi juga memuaskan batinnya. “Seperti halnya manusia, pohon juga memiliki siklus kehidupan,” katanya. “Saya menemukan kebahagiaan karena bisa memperpanjang keberadaan mereka di alam dengan membuat bangunan kayu yang bermanfaat.”
Kini Fan mendekati usia pensiun, 65 tahun, yang artinya, dia akan segera meninggalkan satu-satunya pekerjaan yang pernah dikenal dan diakrabinya. “Saya sama sekali tidak pernah terpikir mencari pekerjaan lain,” kenangnya. “Selalu ada pelajaran yang bisa dipetik, sesuatu yang bisa dilakukan untuk membuat taman yang lebih baik.”
Dia terlebih-lebih senang karena berkunjung ke wilayah pedesaan dan mendaki telah menjadi rekreasi populer di Hong Kong.
“Salah satu bagian dari pekerjaan rutin kami dahulu adalah membersihkan tong sampah di sepanjang jalur pendakian,” tuturnya. “Namun kini kami sudah membuang tong-tong sampah itu karena orang makin sadar dan peduli dengan lingkungan dan belajar untuk tidak membuang sampah sembarangan.
“Fakta ini memperlihatkan bahwa masyarakat umum menghargai kerja keras kami,” katanya. “Wilayah pedesaan merupakan aset kita bersama dan kita semua harus menjaganya.”